Showing posts with label tempo doeloe. Show all posts
Showing posts with label tempo doeloe. Show all posts

Monday, 25 May 2015

Dulu dan Kini: Berkelana di Bodjongweg

Sabtu, 20150523, saya jalan-jalan (literally jalan-jalan alias jalan kaki) menyusuri Jl. Pemuda atau yang dulu dikenal sebagai Bodjong. Hanya untuk membunuh waktu dan kebosanan mumpung gak ada latihan BRK dan sedang malas ke suatu event jejepangan di hari itu.
Jl. Pemuda alias Bodjong membentang dari jembatan Mberok di Kota Lama sampai dengan Tugu Muda. Saya gak jalan sepanjang itu sih, hanya mulai halte Johar depan eks-hotel Dibya Puri (Du Pavillion) sampai ke Gramedia Amaris Pemuda. Tujuannya? Ambil beberapa foto untuk diperbandingkan dengan kondisinya di masa lalu, yang seperti biasa angle-nya tidak persis karena susah ambil yang sama persis. Misi pertamanya adalah ambil foto Toko Oen dari seberang.
Itu kalau saya nekat berusaha ambil dengan posisi yang persis sama, mungkin saya akan ketabrak. Foto di atas perbandingan Toko Oen dan Jl. Pemuda sekitar tahun 1950 (sumber: semarang.nl) dengan kondisinya Sabtu kemarin. Tampak bangunan Toko Oen masih berdiri apa adanya seperti dulu, padahal bangunan-bangunan sekitarnya sudah ganti baru nan modern. Toko Oen juga masih buka. Saya seumur-umur malah belum pernah ke sana. Seems mahal sih. Selanjutnya, perjalanan berlanjut ke perempatan Duwet.
Perempetan Duwet merupakan persimpangan yang mempertemukan antara Jl. Pemuda, Jl. Gajahmada, dan Jl. Gendingan. Foto di atas juga perbandingan antara tahun 1950 (sumber: semarang.nl) dengan kemarin Sabtu. Tampak bangunan di ujung Jl. Gajahmada dan Jl. Pemuda masih tetap berdiri. Kurang tahu dulunya itu gedung apa, tapi sekarang, dalam beberapa tahun terakhir ini, dipakai oleh Ace Hardware. Perjalanan pun dilanjutkan kembali.
Kali ini target saya selanjutnya adalah galeri ATM Bank Mandiri Pemuda. Dari info yang saya ketahui, dulunya merupakan showroom mobil pertama di Semarang yang berdiri sejak sekitar tahun 1907. Yang foto lawas tidak diketahui dari tahun berapa (sumber: semarang.nl). Tampak bentuknya masih sama, yang beda sekarang ada tulisan Mandiri. Penggunaan sebagai ATM pun juga baru beberapa tahun terakhir ini. Sempet iseng coba masuk, isinya mesin ATM berjejer banyak sekali. Karena untuk ambil foto itu saya harus nyeberang dengan JPO baru, saya pun iseng memotret pemandangan Jl. Pemuda dari atas JPO.
Perjalanan pun berlanjut lagi hingga tibalah di destinasi berikutnya, yakni persimpangan Jl. Pemuda - Jl. Depok - Jl. MH Thamrin - Jl. Pierre Tendean - Jl. Tanjung dulu dan kini. Yang foto kuno dari sekitar antara tahun 1900-1940 (sumber: OASE).
Tampak gedung BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) masih berdiri dan sekarang jadi gedungnya Pertamina. Ternyata dulu ada pom bensin, sekarang sudah jadi pulau jalan. Di sebelah BPM, ada Societeit de Harmonie a.k.a GRIS yang sekarang jadi Paragon. Persimpangan ini sekaligus menjadi misi terakhir Sabtu kemarin. Sebenarnya, saya mau ambil foto di Smaga, tapi karena di sana lagi dipasangi tratak-tratak untuk acara jadinya lain kali saja.
Mungkin kapan-kapan saya perlu jalan-jalan di Pemuda lagi untuk mengambil foto-foto di sudut lain. Masih ada ruas yang belum saya ambil fotonya, seperti misalnya ruas Semarang 0 km depan kantor pos besar. Yang paling ingin saya perbandingken sih ya Smaga, maklum alumni. Semoga ada kesempatan masuk ke sana, karena beberapa tahun terakhir ini rasa-rasanya kurang bebas untuk keluar masuk Smaga seenaknya, tidak seperti dulu.

Tuesday, 14 April 2015

Dulu dan Kini: De Spaarbank

Kemarin Sabtu, 20150411, saya iseng jalan-jalan (literally jalan-jalan alias jalan kaki) muteri sebagian Kota Lama Semarang. Tujuannya hunting foto untuk diperbandingkan kondisinya dulu dan sekarang. Ambil beberapa foto yang lumayan. Di postingan ini saya sajikan dulu salah satunya yakni foto bangunan De Spaarbank.
Salah satu tujuan saya kemarin Sabtu adalah mencari bangunan De Spaarbank. Tertarik mencari karena kalau lihat di fotonya yang tempo doeloe bangunannya terlihat epic. Dapat clue letaknya di Jl. Kepodang tapi saya tidak hafal nama-nama jalan di Kota Lama jadinya ya asal jalan kaki saja. Sempat bingung karena gak ketemu-ketemu bangunan walau sudah menyusuri Jl. Kepodang. Akhirnya ketemu juga. Letaknya di ujung Jl. Kepodang sisi dekat Kali Semarang. Kondisi jalan depannya ramai dengan dayatsu (angkot). Walau ramai, saya cuek saja ambil fotonya. 
Seperti terlihat dari perbandingan foto di atas, walau angle-nya gak mirip, tapi bentuk bangunan De Spaarbank ini tidak terlalu berubah. Masih tampak sisa-sisa kejayaan masa lalu. Yang paling beda hanya di bagian pilar-pilar di teras bawah yang sekarang sudah ditutup. Bagian balkon dan beberapa ornamen masih tampak sama. Cuma sayang sepertinya sekarang sudah mangkrak. Tumbuh tanaman-tanaman liar dan ada gubuk-gubuk di depannya. Semoga saja tidak sampai rubuh karena desain bangunan ini terbilang epic.

Sunday, 22 March 2015

Dulu dan Kini: Gerbang SMA Sultan Agung dan Gerbang DP Mall

Jika biasanya saya hanya menulis mengenai satu tempat, di postingan kali ini saya akan menampilkan mengenai dua tempat sekaligus. Kedua tempat tersebut adalah Gerbang SMA Sultan Agung dan Gerbang DP Mall. Intinya tema kali ini adalah gerbang. Karena kemarin Sabtu, 20150321, saya memang ke dua tempat itu untuk mengambil foto.
Jadi ceritanya kemarin secara dadakan diajak makan-makan di K*C Bangkong. Barulah teringat di depan K*C Bangkong ada sisa-sisa gerbang kuno. Ya sudah, sehabis makan sekalian ambil foto gerbang itu. Dulunya merupakan gerbang kuburan Tionghoa dengan nuansa Tiongkok yang sangat kental. Di depan gerbang itu juga menjadi stopplaats (halte) trem jurusan Jomblang-Jurnatan. Foto kuno di atas diambil sekitar tahun 1930. Kondisi gerbang dan lingkungannya saat ini sudah banyak berubah. Gerbangnya masih ada dan jadi gerbang SMA Sultan Agung. Namun, nuansa Tiongkok-nya sudah hilang efek rezim Orde Baru. Bagian atapnya sudah agak berubah, tapi bagian kaki-kakinya masih sama dan menyisakan sedikit ornamen yang masih sama. Kuburannya sendiri sudah tidak ada. Begitu juga dengan stopplaats-nya. Untuk angle-nya berusaha mirip tapi tidak persis dan ketutupan pohon. Setelah itu, saya pun berpindah tempat.
Karena belum sore dan malas pulang, lanjut naik Trans Semarang menyusuri jalur trem masa lalu dan turun di halte Balai Kota. Tujuan selanjutnya ambil foto gerbang DP Mall. Saya ambil foto dari depan gedung sebelahnya Gedung Juang. Untuk foto kuno di atas, saya tidak tahu itu diambil dari tahun berapa. Nyari keteranganya juga gak ketemu. Dulunya itu merupakan gerbang sebuah panti asuhan. Sekarang, panti asuhannya sudah tidak ada dan sudah jadi ruko dan mall. Gerbangnya sendiri juga tidak asli alias replika karena yang asli sudah dibongkar entah tahun berapa. Walaupun replika, bentuknya dibuat menyerupai aslinya. Yang beda, jika dulu di gerbangnya hanya ada satu jalan di tengah, sekarang dibuat tiga: satu di tengah (untuk jalan mobil) dan dua di pinggir (untuk pejalan kaki). Konon katanya, gerbang replika ini posisinya bergeser beberapa meter dari gerbang aslinya.
Sekian. Seperti biasa, foto kuno bersumber dari media-kitlv. Foto kini diambil sendiri oleh saya.

Sunday, 15 March 2015

Dulu dan Kini: Taman Gajahmungkur

Beberapa hari ini tertarik membandingkan kondisi Taman Gajahmungkur dulu dan kini. Jadilah kemarin, Sabtu, 20150314, saya mampir ke sana sebentar untuk mengambil foto taman yang dulu disebut dengan Tillema Plein.Seperti biasa, angle-nya tidak sama persis dengan foto kunonya.
Ambil foto dari depan Ereveld (kuburan Belanda) Gajahmungkur. Foto tempo doeloe di atas sumbernya dari web media-kitlv.nl. Foto tersebut menampilkan kondisi Tillema Plein sekitar tahun 1927. Kalau dilihat dan dibandingkan dengan kondisi sekarang, dari segi bentuk tamannya masih seperti itu. Namun, yang sekarang telah dikelilingi banyak pohon seperti yang terlihat di foto bawah. Sampai-sampai pohon-pohon itu hampir menutupi bagian taman yang lain. Saya beri tambahan foto lagi tapi dari foto bulan lalu.
Seperti yang terlihat di atas, sejak dulu hingga sekarang pun taman ini tetap punya bagian atas dan bagian bawah. Di foto tahun 1927 tampak ada pohon yang ukurannya masih kecil di bagian atas taman, sepertinya itu adalah cikal bakal pohon beringin besar yang sekarang berdiri di posisi yang sama. Di foto tahun 1927 juga tampak ada rumah yang kalau tidak salah ingat sepertinya rumah itu masih ada sampai sekarang.
Sekian. Bisa dibilang Taman Gajahmungkur merupakan salah satu taman peninggalan Belanda yang masih ada sampai sekarang, selain Taman Diponegoro. Semoga saja tidak hilang ke depannya. Sepertinya sih tidak karena taman ini terbilang baru direnovasi.

Sunday, 8 March 2015

Dulu dan Kini: Taman Diponegoro

Jumpa lagi di rubrik Dulu dan Kini. Kali ini saya akan menyajikan mengenai Taman Diponegoro atau yang dulu disebut Raadsplein. Untuk foto yang masa kini, angle-nya tidak sama persis dengan foto kunonya. Foto kuno dalam postingan ini bersumber dari web media-kitlv.nl. Untuk foto masa kini merupakan hasil saya kemarin Sabtu, 20150307 berpetualang ke sana sejenak.
Pertama mari kita lihat foto di atas. Tampak Taman Diponegoro dari sisi ujung Jl. Sultan Agung depan ruko-ruko. Foto yang tempo doeloe diambil sekitar tahun 1927, sedangkan yang sekarang baru diambil kemarin, 20150307. Dilihat dari bentuk taman, bentuk jalan, serta pulau jalan, hampir tidak ada perubahan. Bentuknya masih gitu-gitu aja dari dulu. Perbedaannya untuk tamannya sekarang terlihat lebih banyak pepohonan hijau-hijau. Ukuran jalan pun tentu saja lebih lebar di zaman sekarang, juga kepadatan lalu lintasnya. Selanjutnya, mari menuju foto kedua.
Setelah mengambil foto pertama, saya pun berjalan ke area taman. Jika dilihat dari perbandingan foto di atas, bentuknya dari dulu hingga sekarang memang sudah begitu. Bahkan posisi bangku tamannya pun sama walau bentuknya beda. Itu di lingkaran sisi timur taman. Yang sekarang tentu saja sudah lebih banyak pohon dan tanamannya, juga terdapat kandang burung. Untuk rumah-rumah yang tampak di foto tempo doeloe, saya lupa atau lebih tepatnya kurang memperhatikan apakah masih ada atau tidak. Kelihatannya sudah ada yang hilang. Oh, lupa memberi tahu yang foto jadul dari sekitar antara 1925-1930, yang masa kini juga diambil pada 20150307. Selanjutnya, mari menyeberang ke foto ketiga.
Foto ketiga di atas diambil dari depan Puri Wedari di sebelah timur taman, menyeberangi jalan yang sangat padat kendaraan. Foto tempo doeloe dari sekitar tahun 1920-1925, sedangkan yang masa kini masih diambil pada 20150307. Mengenai perbedaan, mungkin permukaan jalan yang sekarang lebih tinggi. Hal ini tampak dari tangga yang dulu sampai dua tingkat sekarang cuma ada satu tingkat. Dari segi bentuk masih sama. Hanya saja yang dulu lebih minim pepohonan daripada yang sekarang. Entah hanya perasaan saya saja atau bagaimana, sepertinya bagian lingkaran di zaman dulu lebih luas daripada sekarang.
Sekian. Akhir-akhir ini kebanyakan lihat-lihat foto Semarang tempo doeloe jadi lebih ingin banyak menjelajah, menelusuri jejak dan bentuknya di masa kini. Apakah saya menemukan hobi baru? Entahlah. Ini masih belum bisa disebut hobi. Tapi memang menyenangkan sih membandingkan seperti ini.

Monday, 23 February 2015

Dulu dan Kini: Bendungan Plered

Membuat postingan baru mengenai perbandingan suatu tempat di Semarang versi tempo doeloe dengan versi masa kini. Dituangkan dalam rubrik baru bertajuk Dulu dan Kini. Sudah tertarik untuk membuat rubrik ini sejak lama tapi baru kesampaian sekarang. Sebagai pembukaan, akan saya sajikan mengenai Bendungan Plered yang terletak di Sungai Banjirkanal Barat, Semarang. Untuk foto yang masa kini, angle-nya tidak sama persis dengan foto kunonya. Foto kuno dalam postingan ini bersumber dari web semarang.nl.
Pertama mari kita lihat foto di atas. Tampak Bendungan Plered serta Banjirkanal Barat dari Jembatan Lemah Gempal. Foto yang tempo doeloe diambil sekitar antara tahun 1912-1935, sedang foto masa kini diambil pada 22 Februari 2015. Secara garis besar, bentuk bendungan serta lanskapnya tidak terlalu banyak berubah. Namun, jumlah pintu air yang sisi timur tampak berbeda. Jika dulu ada empat, sekarang hanya dua. Maklumlah, bendungan yang sekarang ini merupakan hasil renovasi proyek normalisasi Banjirkanal Barat pada tahun 2010-2011. Untuk sungainya, yang sekarang tampak lebih lebar karena telah dinormalisasi 4-5 tahun yang lalu. Selanjutnya, menuju perbandingan foto kedua.
Berjalan ke bendungan bagian timur lalu memandang ke arah selatan. Foto kuno dari sekitar tahun 1901 dan foto masa kini pada tanggal 22 Februari 2015. Untuk bagian sungai yang tampak di foto kedua ini disebut Kali Garang. Tampak tidak terlalu banyak perbedaan lanskap antara tahun 1901 dengan 2015. Bukit-bukit di bagian selatan Semarang masih terlihat namun sekarang sudah berdiri banyak bangunan. Sekarang pun sudah membentang jembatan Kali Garang yang baru dibangun sekitar tahun 1999-2000. Selanjutnya, mari menuju foto ketiga.
Puas memandang ke arah selatan, beralih memandang ke arah utara. Karena saya lupa angle foto jadulnya bagaimana, jadinya foto yang sekarang angle-nya terlalu geser ke barat. Intinya masih menghadap ke utara. Pemandangan dulu dan kini masih mirip-mirip, ada delta/pulau kecil dan jembatan Lemah Gempal. Namun, deltanya yang sekarang sudah dibuat ulang dengan semacam brangkal yang ditata dan sayangnya salah satunya penuh sampah. Untuk jembatan Lemah Gempal kondisinya sudah beda jauh. Sampai sekitar tahun 2010 jembatannya masih dikenal sebagai kreteg wesi (jembatan besi) yang tampak kuno. Namun, sejak 2010 itulah jembatan diperbaharui dengan beton dan dibuat ala-ala jembatan gantung. Di malam hari, jembatannya bisa menyala. Perbedaan lainnya di masa kini di sisi barat ada semacam taman/plaza sebagai ruang terbuka.
Sekian. Bagi saya menyenangkan untuk membandingkan foto-foto tempo doeloe dengan masa sekarang. Selanjutnya mungkin saya perlu menjelajah lagi mengambil foto dengan angle semirip mungkin untuk dibandingkan dengan versi tempo doeloe.

Sunday, 19 August 2012

After the Curfew

Jumat, 20120817 alias 14330928 H, yang bertepatan dengan HUT ke-67 kemerdekaan Indonesia, saya seperti meninggalken sejenak ke-otaku-an dengan hampir sehari penuh mengkonsumsi tayangan film serta dokumenter mengenai sejarah Indonesia di sekitaran tahun 1945 sampai 1960-an. Sejenak kembali menjadi diri saya yang sebagai pecinta sejarah. Salah satu film yang saya tonton adalah sebuah film Indonesia berjudul Lewat Djam Malam atau dalam bahasa Inggris berjudul After the Curfew. Apa? Penulis blog ini nonton film Indonesia? Yap, sesuatu yang jarang terjadi memang dalam beberapa tahun terakhir. Tapi, yang saya tonton kali ini bukanlah film sembarangan karena Lewat Djam Malam adalah sebuah film legendaris berkualitas besutan Usmar Ismail yang dirilis tahun 1954 dan tentu saja masih hitam putih. 
Saya sudah tertarik menonton Lewat Djam Malam sejak melihat iklannya beberapa hari sebelumnya. Sebenarnya sudah mulai tertarik sejak baca berita di koran bahwa beberapa bulan lalu yang menyebut bahwa film ini di-remastering, diselamatkan dari kerusakan, dan kemudian sempat ditayangkan di suatu festival film di Eropa. Jadilah, yang diputar kemarin Jumat itu masih dengan kualitas yang bagus.
Lewat Djam Malam ber-setting di Bandung sekitaran masa setelah revolusi fisik, tahun 50an awal. Diceritakan seorang pria bernama Iskandar yang baru saja kembali ke masyarakat setelah meninggalkan militer pasca revolusi fisik. Untuk sementara dia menginap di rumah tunangannya yang bernama Norma. Pagi hari setelah dia kembali, Iskandar ditawari bekerja di kantor gubernur Jawa Barat, tapi langsung keluar karena terlibat cekcok. Dia kemudian pergi ke tempat kerja Gafar, rekan seperjuangannya dulu, yang telah menjadi semacam kontraktor, mencoba mencari kerja di sana tapi ternyata tidak cocok. Lalu Iskandar pergi ke tempat Gunawan, juga rekan seperjuangannya, yang kini telah memimpin suatu perusahaan. Gunawan menawari Iskandar pekerjaan, tapi akhirnya ditolak karena Gunawan menjalankan cara-cara kotor. Saat sedang berjalan di kota, Iskandar bertemu dengan Puja, bawahannya dulu, yang telah menjadi germo di rumah bordil, yang lebih tampak seperti pengangguran yang kerjaannya hanya main billiard dan berjudi. Puja lalu mengajak Iskandar ke rumahnya. Di sana, Iskandar bertemu dengan Laila, seorang wanita yang agak aneh, penghuni rumah bordil itu.
Malam harinya, Norma, sang tunangan Iskandar, mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan kembalinya Iskandar. Sementara itu, Iskandar masih terbebani berbagai macam pikiran, terutama perasaan bersalahnya di masa revolusi saat menembak mati seorang perempuan atas perintah Gunawan. Di tengah pesta, Iskandar pergi dengan membawa pistol lalu mengajak Puja ke rumah Gunawan. Di sana lah, dengan beban pikiran insiden saat revolusi serta perasaan dendam [atau kecewa?] pada Gunawan, Iskandar menodongkan pistolnya dan menembak Gunawan. Dengan perasaan panik, Iskandar kembali ke rumah Norma, tapi langsung menghilang lagi ketika datang seorang polisi teman Norma yang berkata bahwa terjadi pembunuhan. Iskandar pergi lagi ke tempat Puja kemudian ke rumah Gafar dan menceritakan bahwa dia baru saja membunuh Gunawan. Saat telah lewat jam malam, Iskandar hendak kembali ke rumah Norma, orang satu-satunya yang dianggap paling bisa mengerti dirinya. Namun, karena sudah berlaku jam malam, di tengah jalan Iskandar dikejar oleh beberapa polisi militer yang berjaga. Iskandar pun kemudian terpaksa ditembak dan akhirnya tewas di depan rumah Norma.
Bisa dibilang film Lewat Djam Malam ini sangat epic dan berkualitas, didukung dengan akting para pemainnya dan juga ceritanya yang menggambarkan kondisi eks-pejuang revolusi waktu itu, walaupun sempat ngantuk nontonnya karena dialog yang ditampilkan di sini. Kalau kesan yang saya tangkap, film ini menampilkan kegalauan dan idealisme dari sosok Iskandar. Yang membuat semakin menarik adalah karena ini memang film yang dibuat tahun 50an, jadinya kita bisa mendapat gambaran mengenai kehidupan di era itu. Lalu, bahasa dialog yang dipakai pun menarik [dan epic] bagi saya karena pemakaian kata yang cenderung baku dan terutama penggunaan kata sapaan "bung" dan "nona", yang di era sekarang tentu saja sudah sangat jarang dipakai.
Penutup. Setelah menonton film ini, saya malah jadi kepingin menonton film-film lokal tempo doeloe berkualitas seperti ini dan alangkah bagusnya juga diselamatkan, di-remastering kembali dan kalau perlu dirilis dalam format masa kini, DVD mungkin.

Friday, 10 June 2011

Djiwa Manis Indoeng Disajang

Beberapa hari yang lalu saya nonton sebuah acara televisi tentang kondisi perkereta apian di Indonesia, khususnya Jakarta. Di akhir segmen, dijelaskan tentang kondisi perkereta apian di masa lalu dan tentu saja menyinggung tentang adanya tram di beberapa kota besar [begitu juga Semarang] yang mana tram sempat menjadi alat transportasi idola di masa lalu. Namun, tram akhirnya dihapus sekitar tahun 60an. Di segmen terakhir ini yang membuat saya tertarik dan sangat excited adalah ditampilkannya video Jakarta tempo doeloe yang sudah berwarna. Berwarna? Yap, sesuatu yang sangat langka bisa melihat video/foto tempo doeloe jaman Belanda yang sudah berwarna. Kemudian, karena masih penasaran dengan video itu, saya pun mencarinya di youtube dan ketemu. Ini lah videonya :
Sebuah video berjudul "Jakarta (Batavia) Indonesia tahun 1941." Tahun 1941, itu berarti setahun sebelum memasuki jaman Jepang. Video ini berdurasi hampir 10 menit. Menampilkan kondisi jalanan, bangunan, dan penduduk Jakarta di tahun 1941 yang tentu saja kondisinya sudah berbeda dengan sekarang. Tapi beberapa bangunan masih bisa dikenali hingga sekarang. Melihat video itu pun saya dibuat kagum dan berpikir, "Oh, ternyata seperti itu dunia berwarna jaman dulu. Saya kira dunia dulu warnanya hitam-putih atau kecoklatan kayak di foto-foto." Di video itu tampak jalanan Jakarta masih lengang tidak seperti sekarang. Masih banyak sepeda berkeliaran dengan sedikit mobil berseliweran, tram pun masih tampak sesekali melintas. Kondisi dan arsitektur bangunan pun mengagumkan, khas jaman Belanda. Bahkan ada bangunan yang menurut saya tampak seperti Reichstag Nazi. Tampak seperti di Eropa dengan beberapa kali tampak sinyo dan noni Belanda lewat. Orang-orang pribumi pun juga tampak di situ, kondisi orang pribumi masa itu benar-benar seperti terbelakang. Para laki-laki yang ngeliga [telanjang dada], memakai sarung, sedang yang perempuan berkebaya dan tentu saja, berkonde.
Beberapa hari ini pun saya sering nge-loop video ini dan ketagihan. Yang lebih membuat saya ketagihan adalah lagu pengiring di video ini. Lagu pengiringnya terdiri dari empat lagu yang sebagian besar dalam bahasa Belanda tapi juga ada yang campur bahasa Indonesia. Vokalisnya perempuan dengan beberapa kali diiringi suara laki-laki.
Me-review sedikit lagu-lagunya. Di lagu pertama memakai bahasa Belanda tapi sepertinya isinya tentang makanan di Indonesia, karena di reff menyebut Nasi Goreng, sambal, dan kerupuk. Di bagian lirik yang lain pun juga disebut lontong, sate babi, terasi, srundeng, bandeng, tahu petis, kue lapis, onde-onde, ketela, bakpao, ketan, gula jawa dll. Lagu kedua juga dengan bahasa Belanda tapi kurang ngerti maksudnya. Sepertinya sih tentang minuman. Lagu ketiga, campuran bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Lagu yang liriknya unik dan sepertinya pernah dengar. Beberapa bagian lagu yang saya ingat, "Ladjoe ladjoe perahoe ladjoe, djiwa manis indoeng disajang, indoeng indoeng indoeng sajang", "Boeah doekoe [hoi!] boeah lah doeren [hoi!] saja lah toenggoe dari kemaren". Lagu favorit saya di video ini. Kemudian lagu keempat, gak bisa disebut lagu full sih, karena lebih seperti lagu penutup video ini dengan lirik "Toean dan njonja, sinjo-sinjo dan noni, kami soedah brenti, besok main lagi. Toean dan njonja, sinjo-sinjo dan noni, kami soedah brenti besok dansa lagi".
Secara keseluruhan lagunya asyik-asyik, benar-benar khas tempo doeloe. Saya pun berpikir alangkah bagus dan mantabnya jika lagu-lagu itu di-cover ama White Shoes and The Couples Company.
Walaupun ini video tentang Jakarta, sedang saya bukan orang Jakarta, tapi sebagai pecinta sejarah, tentu saja saya sungguh menikmati video ini. Saya pun jadi ingin nonton video sejenis tapi yang isinya tentang Semarang. Saya penasaran dengan Semarang tempo doeloe versi berwarna. Apakah ada yang punya videonya?

Wednesday, 10 November 2010

Feel like a time traveler

A few days ago, I was lurking in Kaskus Regional Semarang and found an interesting thread about guessing old photos of some places in Semarang. The old photos of course were from the Dutch colonialism era. There are lots of interesting photos on that thread. And I could guess some of the photos because Semarang landscape nowadays is not too different from the past.
From that thread I also got the photo source website. The website is, what is it? Sorry, I forgot the web name. But, it is a Dutch language website. Then, I opened the website and looking for more Semarang old photos [or in Bahasa Indonesia, we call it Semarang Tempo Doeloe]. Some photos really interest me, so I decide to post it here too. And I’ll tell the differences between now and the past.
First, Semarang’s logo Above is maybe the Gementee Semarang’s logo. Maybe? Because I’m not sure it was used before 1906 or after. If it was used after 1906, it is the Gementee Semarang’s logo. Nevermind that. After all, it had ever used as Semarang’s logo.
Second, Wilhelmina Plein
Above is the photo of one of Semarang’s most famous place in the present days. That is Wilhelmina Plein with Lawang Sewu of course. There were no Tugu Muda back then. Since 1950s,Tugu Muda monument has built there to commemorate the 5 days battle against Japanese soldiers in Semarang, 1945. Can compare it with the photos of Tugu Muda I took last year. Third, Aloon-aloon Semarang Aloon-aloon with Masjid Agung Kauman. Very spacious room. A tram is passing by in the photo. Now, there’s no aloon-aloon anymore because since 1970s it has become traditional market. There’s no tram too in Semarang now. But, Masjid Agung Kauman is still there. Fourth, Parade Plein Parade Plein or now it is known as Taman Srigunting. Not too many differences between past and present. The buildings that are on photos above are still there. From left to right: Gedung Marba, Jiwasraya, and Gereja Blendug [that’s how we call that buildings now]. Parade Plein [Taman Srigunting] and Gereja Blendug in present days :
that's me
Fifth, Banjirkanal Dam Banjirkanal Dam or we call it Plered. I can’t tell the differences because it almost stills the same. The landscape of south Semarang also not changing. Photo above was taken from the dam. If you are in the dam now and looking to the same direction as that photo, maybe you’ll feel the same. What different is just that now there are lots of building in that area.
Photo above was also taken from the dam. But the direction is north. A bridge can be seen. Folks called this bridge as Kreteg Wesi [Iron Bridge] because it was made from iron. Some months ago, the bridge is destroyed and now a new bridge is still under construction.
Looking to those photos make me feel like I’m time traveling. For me, the old Semarang really interest and curious me. It is so much fun seeing old photos of Semarang and compares it to condition in the present days.