Sunday 19 August 2012

After the Curfew

Jumat, 20120817 alias 14330928 H, yang bertepatan dengan HUT ke-67 kemerdekaan Indonesia, saya seperti meninggalken sejenak ke-otaku-an dengan hampir sehari penuh mengkonsumsi tayangan film serta dokumenter mengenai sejarah Indonesia di sekitaran tahun 1945 sampai 1960-an. Sejenak kembali menjadi diri saya yang sebagai pecinta sejarah. Salah satu film yang saya tonton adalah sebuah film Indonesia berjudul Lewat Djam Malam atau dalam bahasa Inggris berjudul After the Curfew. Apa? Penulis blog ini nonton film Indonesia? Yap, sesuatu yang jarang terjadi memang dalam beberapa tahun terakhir. Tapi, yang saya tonton kali ini bukanlah film sembarangan karena Lewat Djam Malam adalah sebuah film legendaris berkualitas besutan Usmar Ismail yang dirilis tahun 1954 dan tentu saja masih hitam putih. 
Saya sudah tertarik menonton Lewat Djam Malam sejak melihat iklannya beberapa hari sebelumnya. Sebenarnya sudah mulai tertarik sejak baca berita di koran bahwa beberapa bulan lalu yang menyebut bahwa film ini di-remastering, diselamatkan dari kerusakan, dan kemudian sempat ditayangkan di suatu festival film di Eropa. Jadilah, yang diputar kemarin Jumat itu masih dengan kualitas yang bagus.
Lewat Djam Malam ber-setting di Bandung sekitaran masa setelah revolusi fisik, tahun 50an awal. Diceritakan seorang pria bernama Iskandar yang baru saja kembali ke masyarakat setelah meninggalkan militer pasca revolusi fisik. Untuk sementara dia menginap di rumah tunangannya yang bernama Norma. Pagi hari setelah dia kembali, Iskandar ditawari bekerja di kantor gubernur Jawa Barat, tapi langsung keluar karena terlibat cekcok. Dia kemudian pergi ke tempat kerja Gafar, rekan seperjuangannya dulu, yang telah menjadi semacam kontraktor, mencoba mencari kerja di sana tapi ternyata tidak cocok. Lalu Iskandar pergi ke tempat Gunawan, juga rekan seperjuangannya, yang kini telah memimpin suatu perusahaan. Gunawan menawari Iskandar pekerjaan, tapi akhirnya ditolak karena Gunawan menjalankan cara-cara kotor. Saat sedang berjalan di kota, Iskandar bertemu dengan Puja, bawahannya dulu, yang telah menjadi germo di rumah bordil, yang lebih tampak seperti pengangguran yang kerjaannya hanya main billiard dan berjudi. Puja lalu mengajak Iskandar ke rumahnya. Di sana, Iskandar bertemu dengan Laila, seorang wanita yang agak aneh, penghuni rumah bordil itu.
Malam harinya, Norma, sang tunangan Iskandar, mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan kembalinya Iskandar. Sementara itu, Iskandar masih terbebani berbagai macam pikiran, terutama perasaan bersalahnya di masa revolusi saat menembak mati seorang perempuan atas perintah Gunawan. Di tengah pesta, Iskandar pergi dengan membawa pistol lalu mengajak Puja ke rumah Gunawan. Di sana lah, dengan beban pikiran insiden saat revolusi serta perasaan dendam [atau kecewa?] pada Gunawan, Iskandar menodongkan pistolnya dan menembak Gunawan. Dengan perasaan panik, Iskandar kembali ke rumah Norma, tapi langsung menghilang lagi ketika datang seorang polisi teman Norma yang berkata bahwa terjadi pembunuhan. Iskandar pergi lagi ke tempat Puja kemudian ke rumah Gafar dan menceritakan bahwa dia baru saja membunuh Gunawan. Saat telah lewat jam malam, Iskandar hendak kembali ke rumah Norma, orang satu-satunya yang dianggap paling bisa mengerti dirinya. Namun, karena sudah berlaku jam malam, di tengah jalan Iskandar dikejar oleh beberapa polisi militer yang berjaga. Iskandar pun kemudian terpaksa ditembak dan akhirnya tewas di depan rumah Norma.
Bisa dibilang film Lewat Djam Malam ini sangat epic dan berkualitas, didukung dengan akting para pemainnya dan juga ceritanya yang menggambarkan kondisi eks-pejuang revolusi waktu itu, walaupun sempat ngantuk nontonnya karena dialog yang ditampilkan di sini. Kalau kesan yang saya tangkap, film ini menampilkan kegalauan dan idealisme dari sosok Iskandar. Yang membuat semakin menarik adalah karena ini memang film yang dibuat tahun 50an, jadinya kita bisa mendapat gambaran mengenai kehidupan di era itu. Lalu, bahasa dialog yang dipakai pun menarik [dan epic] bagi saya karena pemakaian kata yang cenderung baku dan terutama penggunaan kata sapaan "bung" dan "nona", yang di era sekarang tentu saja sudah sangat jarang dipakai.
Penutup. Setelah menonton film ini, saya malah jadi kepingin menonton film-film lokal tempo doeloe berkualitas seperti ini dan alangkah bagusnya juga diselamatkan, di-remastering kembali dan kalau perlu dirilis dalam format masa kini, DVD mungkin.

No comments: